Pemindahan ibu kota perlu melihat tatanan global

Monumen Nasional, Jakarta. Mukti Mulyana
Monumen Nasional, Jakarta. Mukti Mulyana

Wacana Pemerintah Indonesia memindahkan ibu kota negara ke luar Jawa terus bergulir. Meski sebagian pihak mempertanyakan logika dibaliknya, sebagian yang lain berbicara soal kriteria lokasi yang tepat dan bagaimana ibu kota baru sebaiknya dirancang.

Dalam beberapa kesempatan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brojonegoro menyampaikan bahwa ibu kota baru akan dirancang khusus sebagai pusat pemerintahan yang terpisah dari pusat bisnis. Ini sebagaimana Canberra di Australia dan Putra Jaya di Malaysia.

Ibu kota baru juga diyakini dapat mengurangi beban Jakarta dan mempercepat pemerataan pembangunan terutama di wilayah timur Indonesia.

Menurutnya, Indonesia pun akan memiliki ibu kota egara yang didesain sebagai kota ideal dari pemikiran sendiri, bukan warisan Belanda.

Namun, apakah visi tersebut cukup strategis bagi kepentingan nasional di tengah tantangan geo-politik global? Apa visi yang mestinya dimiliki dari rencana besar tersebut?

Merespon Terusan Kra, Thailand

Pemindahan ibu kota mestinya dijadikan momentum untuk merespon tantangan geo-politik global. Salah satu yang diprediksi akan berdampak pada tatanan ekonomi Indonesia adalah pembangunan Terusan Kra, Thailand.

Saat ini pola pelayaran internasional dari Eropa dan Timur Tengah menuju Asia Pasifik dan sebaliknya, adalah melalui Selat Malaka. Selat yang disebut-sebut sebagai lintasan pelayaran terpadat di dunia ini melintasi semenanjung Malaysia, pesisir bagian utara-timur Sumatera, dan Singapura.

Dengan adanya Terusan Kra, pelayaran menuju negara-negara Asia Timur dan sebagian Asia Tenggara menjadi lebih singkat karena tidak perlu lagi melintasi Selat Malaka. Ini akan meredupkan kejayaan Singapura, Malaysia, dan juga wilayah-wilayah yang masuk dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1, mencakup pelabuhan-pelabuhan di Sumatera dan Jakarta.

Pelayaran dari Australia dan Selandia Baru menuju Kawasan Asia Timur hingga Timur Tengah, dan Eropa pun akan mengalami penyesuaian. Pemanfaatan Terusan Kra akan membuat sejumlah rute pelayaran menggunakan ALKI 2 yang berada di sepanjang Selat Makassar. Dengan demikian, posisi Kalimantan dan Sulawesi menjadi cukup strategis untuk dikembangkan sebagai simpul pelayaran internasional.

Atas situasi ini, rencana pemindahan ibu kota negara perlu membawa kepentingan strategis nasional dalam percaturan global. Artinya, rencana tersebut bukan sekedar bertujuan untuk mengurangi jarak tempuh antara wilayah paling barat dan timur Indonesia ke ibu kota tetapi juga sebagai simbol sebuah bangsa yang berdaulat. Ibu kota perlu dirancang tidak hanya sebagai pusat pemerintahan tetapi juga pusat perekonomian global berbasis maritim.

Bukan soal untung-rugi

Pemindahan ibu kota baru ditaksir menghabiskan biaya hingga 466 triliun rupiah. Walaupun terlihat fantastis, hitung-hitungan tersebut menjadi bisa dipahami bila pembangunannya dapat didudukan dalam konteks yang lebih besar.

Ongkos memindahkan ibu kota menjadi masuk akal ketika Indonesia akan berhadapan pada situasi bahwa ALKI 1 yang akan meredup dan akan digantikan dengan ALKI 2. Selain itu, terdapat juga bentuk-bentuk kerjasama ekonomi global yang mempengaruhi Indonesia seperti Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Artinya, ini bukan soal untung rugi selama Indonesia dapat memaksimalkan manfaat, membela kepentingannya, dan menunjukkan kemampuannya sebagai negara yang berdaulat kepada bangsa-bangsa di sekitar itu.

Sementara itu, meskipun Jakarta akan kehilangan predikatnya sebagai ibu kota negara bila pemindahan benar-benar dilakukan, ia tetap perlu menyadari statusnya sebagai ibu kota ASEAN. Apalagi, interaksi di antara negara-negara MEA diprediksi semakin kuat dan peran Jakarta potensial melampaui Indonesia sendiri sebagai sebagai sebuah negara (supra-state).

Bagaimana dengan itikad pemerataan pembangunan?

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah adalah embrio untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar pulau Jawa. Itu dilakukan dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan pusat ke pada daerah daerah. Begitu pun pada UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa.

Sayangnya, meski sejumlah kewenangan telah didelegasikan dari pemerintah pusat ke tingkat daerah dan desa, kebijakan yang dirancang seringkali seragam, atau dalam kata lain sama rata-sama rasa.

Artikel ditulis oleh Rendy A. Diningrat atas pandangan Doddy Aditya Iskandar, Ph.D. dalam kegiatan diskusi Kencanawitagama bertajuk “466 Billion Rupiah Stake to Create Indonesia’s New Capital: the Pledge, the Turn, and the Prestige?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pemindahan ibu kota mestinya dijadikan momentum untuk merespon tantangan geo-politik global, salah satunya pembangunan Terusan Kra, Thailand.

Bagikan konten ini:

Semua episode podcast juga tersedia di:

Jelajahi juga..