Lompat ke konten
  • Insight

Memenangkan paradigma arus balik transportasi perkotaan

Semakin hari, ruang-ruang perkotaan semakin padat dan sesak. Ramalan UNHABITAT yang menyebut lebih dari 60% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2030, nampaknya mulai menjadi kenyataan.

Meningkatnya jumlah penduduk kota tentu berdampak pada kompetisi penggunaan lahan atau ruang. Ruang publik merupakan salah satu jenis ruang yang rentan diklaim, diokupansi, hingga dilakukan “pembajakan”. Mulai dari taman kota hingga ruang bersama yang digunakan untuk berlalu-lalang, yaitu jalanan.

Kendaraan bermotor, pemilik tahta tertinggi ruang jalan

Revolusi industri (1750-1850) menyisakan pelajaran bahwa masifnya penggunaan mesin dan bahan bakar fosil memiliki dampak mendalam pada kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Ia merubah pola pengembangan bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, dan teknologi informasi.

Dalam hal transportasi, pola pembangunan kota dengan cepat bergeser pada penggunaan kendaraan bermotor dan meninggalkan budaya berjalan kaki juga bersepeda. Perubahan tatanan global yang dimulai di Inggris ini kemudian menyebar ke seluruh Eropa, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya seluruh dunia.

Hari ini, mari kita lihat Indonesia melalui Jakarta. Pada tahun 2015 saja, jumlah penduduknya mencapai 9,7 juta jiwa di malam hari dan meningkat menjadi 11,5 juta jiwa di siang hari. Kurang lebih 3 juta penduduk di siang hari merupakan penglaju yang tinggal di kota-kota satelit dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Besarnya jumlah penduduk yang melakukan mobilitas tinggi di Jakarta tentu bergantung pada fasilitas transportasi yang tersedia. Sayangnya, penyediaan fasilitas publik yang ada belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhan “penikmat” Jakarta yang sudah terlalu besar. Alhasil, penggunaan kendaraan bermotor pribadi, baik mobil atau motor, menjadi pilihan yang dianggap paling efektif, fleksibel, dan murah.

Berdasarkan data dari Jakarta Smart City pada tahun 2017, total kendaraan yang ada di Jakarta (motor dan mobil) berjumlah hampir 2 kali lipat dari total penduduknya. Hal ini menunjukan bahwa betapa pola pembangunan Jakarta saat ini bukan dirancang untuk manusianya, melainkan kendaraannya.

Hampir di semua sudut kota, pola pembangunan jalan didominasi oleh perkerasan aspal. Lebih dari 70%-nya digunakan untuk memfasilitasi kendaraan bermotor namun hanya sedikit saja menyisakan ruang bagi pejalan kaki, sepeda, dan jalur hijau.

Kendaraan bermotor pribadi masih mencengkram tahta tertinggi dalam mengonsumsi ruang-ruang jalan di perkotaan. Ibarat rantai makanan, ia seperti predator yang akan melahap apapun untuk mempertahankan kekuasaannya. Penggunaan ruang-ruang jalan perkotaan, pada akhirnya melazimkan pembajakan trotoar sebagai tempat parkir dan “jalan pintas” motor, atau bahkan menjadi “garasi” gratis pemiliki kendaraan.

Dibalik nikmatnya kendaraan pribadi

Kemudahan warga kota untuk mengakses kendaraan pribadi, selain turut menciptakan kemacetan di jalanan ibukota, juga memiliki resiko kecelakaan yang tinggi. Angka kecelakaan di Jakarta pada tahun 2017 menurut data dari Ditlantas Polda Metro Jaya mencapai 3.663 orang dengan korban meninggal sebanyak 311 Jiwa.

Disamping itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa kendaraan berbahan bakar fosil merupakan penyumbang paling “dermawan” polusi udara perkortaan. Mulai dari Karbon Monoksida (CO), Karbon Dioksida (CO2), sampai dengan Partikel Timbal (PM2,5). Selain menjadi penyumbang hampir 70% polusi udara Jakarta, tingginya kadar C02 juga menjadi pemicu pemanasan global. Wajar saja, bila udara di perkotaan semakin hari terasa sumpek dan membakar.

Polusi udara juga beresiko pada masalah kesehatan seperti terjangkitnya infeksi pernafasan. Survei yang dilakukan oleh RSCM pada 2015, menyebutkan bahwa beragam jenis polusi di Jakarta paling banyak menyebabkan keluhan sakit tenggorokkan (81%), batuk (72%), dan iritasi mata (69,4%). Keluhan lain seperti pilek, sesak napas, sakit kepala, dan iritasi kulit juga dialami oleh lebih dari 50 persen responden.

Dalam jangka panjang, ketergantungan terhadap kendaraan pribadi juga dapat menyebabkan obesitas.  Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa tingkat penderita obesitas di provinsi DKI Jakarta sekitar  39,7% dari total penduduknya. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat memicu berbagai penyakit lain, seperti jantung koroner, gangguan fungsi hati, dan gagal ginjal. Pola hidup di perkotaan yang kurang mendukung aktivitas fisik, asupan makanan bergizi, dan dibarengi dengan tingginya penggunaan kendaraan bermotor pribadi, menyuburkan jenis gangguan kesehatan ini.

Pertarungan paradigma

Paradigma pemanfaatan ruang kota yang berorientasi pada kendaraan bermotor sekilas tampak mempercepat laju pembangunan. Hal ini dengan mudah terlihat melalui masifnya pembangunan jaringan jalan yang sangat lebar, yaitu lebih dari 4 lajur di setiap arahnya. Namun, penyediaan fasilitas publik, aksesibilitas, dan modal sosial warga kota semakin tergerus karena banyaknya elemen lain (seperti kawasan hunian di pusat kota, taman, fasilitas pejalan kaki) yang dihilangkan sehingga kota tidak lagi menjadi inklusif.

Pada tahun 1960-an, di Kota Manhattan pernah terjadi pertarungan yang cukup sengit antara jurnalis bernama Jane Jacobs dengan urban planner Robert Moses. Keduanya berseteru mengenai rencana pembangunan jalan layang (express way) yang akan mengorbankan banyak kawasan permukiman (yang dinilai kumuh) dan fasilitas kota lainnya. Jacobs yang didukung oleh komunitas setempat menolak pembangunan dari atas (top-down) ini karena yakin hal tersebut hanya akan menurunkan kualitas hidup sosial perkotaan.

Kota-kota di dunia saat ini mulai merubah kembali pendekatan-pendekatan yang diambil untuk meningkatkan kualitas hidup warganya. Salah satunya, terkait kesetaraan dalam mengakses ruang-ruang kota. Perubahan paradigma yang terjadi adalah dengan membalik pendekatan pembangunan (reverse paradigm) dari yang mengutamakan kendaraaan bermotor menjadi pendekatan berorientasi manusia, yaitu sebagai pedestrian sekaligus “pemilik kota”.

Aktivitas berjalan kaki merupakan kebutuhan paling dasar dari manusia untuk bergerak. Selain itu, berjalan -juga bersepeda- merupakan bentuk mobilitas paling ramah lingkungan  karena tidak meninggalkan jejak apapun bagi tekanan ekologi (dibandingkan kendaraan bermotor).

Reverse paradigm menekankan penyediaan fasilitas pejalan kaki yang memadai sehingga dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat (inklusif), baik yang muda dan yang tua; pria dan wanita, dan yang lebih penting yaitu oleh mereka yang memiliki different ability (difabel). Penyediaan fasilitas pejalan kaki dan sepeda menjadi unsur penting dalam menjawab permasalahan akses awal dan akhir (first and last miles) dari keseluruhan sistem transportasi perkotaan.

Selain itu, pembangunan perkotaan yang mengutamakan manusia turut meningkatkan kapasitas ruang kota yang semakin terbatas. Ini dilakukan dengan mengembangkan complete street, yaitu pembangunan ruang jalan yang mampu mengakomodir berbagai macam jenis pengguna jalan, seperti pejalan kaki (pedestrian), pesepeda, jalur hijau, transportasi massal, dan kendaraan pribadi (termasuk angkutan barang). Dengan demikian, jalanan perkotaan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendukung mobilitas warga kota dengan aman dan nyaman.

Membalikkan paradigma (reserve paradigm)

Tersedianya akses awal dan akhir yang nyaman dapat memperkuat preferensi warga kota untuk meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi dan beralih pada transportasi umum. Artinya, sekalipun suatu kota sudah memiliki transportasi massal yang berkelas dunia, namun bila tidak dibarengi dengan penyediaan akses pejalan kaki dan sepeda yang baikn maka hanya akan menyulitkan warganya untuk mencapai titik-titik transit ketika memulai perjalanan dari rumah (origin) dan menyelesaikannya ke tempat tujuan (destination).

Dalam menciptakan akses pejalan kaki dan pesepeda yang baik, beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1.Trotoar yang menerus (tidak naik turun dan terputus) dan teduh dengan muka bangunan yang aktif (active frontage)
2.Blok bangunan yang permeable untuk meningkatkan konektivitas jaringan jalan
3.Tersedianya ubin pemandu untuk difabel
4.Bollard sebagai pelindung pedestrian dan mencegah naiknya kendaraan bermotor ke badan trotoar
5.Fasilitas penyebrangan sebidang yang aman dan nyaman (pelican crossing)
6.Penunjuk arah (wayfinding)
 7.Jalur khusus sepeda yang menerus.

Ilustrasi fasilitas pejalan kaki dan sepeda yang baikUpaya lain yang kiranya perlu dilakukan adalah mempromosikan pembangunan transportasi yang inklusif. Ini tentu memiliki sejumlah tantangan apalagi bagi negara berkembang yang umumnya sangat bergantung pada kendaraan bermotor pribadi. Oleh karena itu, komitmen pemerintah kota dalam pengembangan sistem transportasi masal (seperti BRT dan MRT) serta fasilitas pejalan kaki dan sepeda (untuk mendukung fisrt and last mile) sangat dibutuhkan.

Selain itu, dorongan agar masyarakat terbiasa menggunakan transportasi umum dan berjalan kaki juga perlu digencarkan. Beberapa diantaranya dapat dilakukan dengan memasifkan kampanye berjalan kaki dan sepeda (seperti gerakan #pedestrianfirst, dan #biketowork), menaikan pajak kendaraan bermotor dan tarif parkir, serta menegakkan sanksi bagi mereka yang menyalahgunakan trotoar sebagai “jalan pintas” atau tempat parkir motor dan mobil.

Pada akhirnya, kota merupakan  produk komunal yang seharusnya dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat yang hidup di dalamnya. Pengembangan kota yang lebih humanis dan inklusif adalah harga mati untuk menjawab tantangan dari peningkatan populasi dunia, dimana lebih dari 60% nya akan rela berdesak-desakan untuk bisa hidup di ruang yang sama.

Artikel ditulis oleh Wildan Abdurrahman, Perencana ITDP

Foto: Jembatan penyebrangan di Jakarta. MUKTI Mulyana