Pernyataan Capres Anies Baswedan bahwa pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) tidak menghasilkan pemerataan, telah menjadi perdebatan yang hangat hari-hari ini.
Perdebatan makin memanas lantaran Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang merupakan partai pengusung Anies, ikut mengeluarkan statement yang menolak pembangunan IKN di Kalimantan.
Berbeda dengan masa pemerintahan SBY, dimana perdebatan IKN masih sebatas wacana, kali ini Anies dan PKS menolak IKN saat pembangunannya sudah berjalan berlandaskan sebuah Undang-undang. Artinya, keputusan pembangunan IKN yang sudah melalui proses perencanaan yang panjang dan disepakati oleh pemerintah dan hampir semua fraksi di DPR, kembali digugat.
Sungguh, sebuah pernyataan politik yang nekat. Wajarlah jika pihak pemerintah, DPR dan beberapa pihak lainnya bereaksi cukup keras.
Perkara pemerataan pembangunan
Salah satu pokok perdebatan IKN adalah soal strategi pemerataan pembangunan.
Anies menyebut IKN akan menghasilkan sebuah kota baru yang timpang dengan daerah di sekitarnya. Katanya, membangun IKN hanya membangun satu kota di tengah-tengah hutan sehingga tujuan memeratakan Indonesia tidak terjadi.
Sedangkan PKS mengatakan tidak ada korelasi antara pemindahan IKN dan pemerataan. Mereka menyebut bahwa pemerataan bisa dicapai melalui pembangunan kota-kota kecil menjadi kota menengah. Bahkan Anies mengatakan, justru membangun kota di tengah hutan itu sesungguhnya menimbulkan ketimpangan yang baru.
Perdebatan politik ini kiranya perlu segera diisi oleh substansi teknokratik yang lebih objektif. Tampaknya di sini ada kekeliruan dalam memahami soal ketimpangan dan upaya pemerataan.
Jika dikatakan IKN adalah kota baru yang timpang dengan daerah di sekitarnya, itu adalah ketimpangan di level kawasan, yaitu antara kota dan pinggiran kota atau desa. Itu isu ketimpangan yang berbeda dengan isu ketimpangan di level wilayah nasional yang hendak disasar dalam pembangunan IKN. Begitu juga, sepertinya ada kekeliruan dalam membedakan antara pemerataan pertumbuhan wilayah dan pemerataan ekonomi secara umum.
Dalam hal pemerataan ekonomi, pemerintah sejak era-era sebelumnya sudah melakukan berbagai upaya. Mulai dari pemerataan kebutuhan pangan, papan, dan pendidikan, hingga upaya mengatasi ketimpangan wilayah melalui program transmigrasi dan kawasan ekonomi khusus. Jika di masa Orba pemerintah membangun Batam, Bali, Asahan, Balikpapan, maka kini pemerintah membangun Bitung, Mandalika, Danau Toba, Sei Mangkei, Kendal, Morowali, Papua dan sebagainya.
Namun demikian, semua upaya pemerataan sejak lama itu belum mampu mengatasi ketimpangan pertumbuhan wilayah secara nasional.
Kecepatan pertumbuhan wilayah masih berpusat di Jakarta, Jabodetabek dan Jawa. Hasilnya, 56% atau sekitar 150 juta penduduk Indonesia berdiam di Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari wilayah Indonesia.
Begitu juga, separuh produk domestik dihasilkan dari Pulau Jawa. Jurang ketimpangan wilayah ini begitu hebatnya akibat episentrum pertumbuhan yang berpusat di Jakarta dan Pulau Jawa. Akibatnya, konsentrasi investasi, infrastruktur, industri, dan kegiatan ekonomi lain tetap berada di wilayah ini. Sementara wilayah di luar Jawa, terutama di Indonesia Bagian Timur, masih jauh tertinggal, meskipun ada satu-dua pembangunan juga.
Dengan situasi semacam ini, pembangunan IKN di Kalimantan sudah semestinya dilihat pada konteks ketimpangan struktur ruang wilayah nasional, bukan ketimpangan antara kota dan kawasan pinggirannya. Jika Anies Baswedan menyorot IKN hari ini dibangun di tengah hutan, tentunya itu bukan bentuk ketimpangan. Melainkan tahap awal pembangunan sebuah episentrum baru yang sedang berproses di antara pusat-pusat pertumbuhan eksisting di Samarinda dan Balikpapan.
Perubahan struktur ruang wilayah nasional
Pembangunan IKN adalah upaya menciptakan episentrum baru dalam rangka pemerataan pertumbuhan wilayah nasional yang membutuhkan waktu yang lama. Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan bukan seperti membangun proyek infrastruktur biasa. Bahkan bukan selevel pembangunan kota baru sekalipun.
Pembangunan IKN di Kalimantan juga bukanlah semata soal pemerataan ekonomi biasa seperti pemerataan kebutuhan pokok, kesempatan kerja dan berusaha. Pemindahan IKN ini sifatnya sangatlah mendasar dengan melakukan perubahan struktur ruang wilayah nasional.
IKN mengalahkan segala bentuk proyek infrastruktur seperti pelabuhan, kawasan industri dan sebagainya. Ia adalah motor penggerak pertumbuhan yang paling efektif untuk menciptakan episentrum baru pertumbuhan wilayah nasional. Episentrum baru di IKN akan menggerakkan pembangunan wilayah sekaligus konservasi lingkungan hidup di Kalimantan.
Wilayah IKN direncanakan untuk menjadi episentrum yang kelak paling tinggi pertumbuhannya dalam konteks ruang wilayah nasional. Kecepatan pertumbuhannya akan mengalahkan kecepatan tumbuh pusat-pusat kegiatan nasional lainnya.
Pembangunan IKN di Kalimantan ini adalah suatu langkah perubahan struktur ruang wilayah nasional yang sangat fundamental sebagai wadah bagi pertumbuhan sekaligus pemerataan ekonomi. Perkembangan wilayah IKN, Kalimantan Bagian Timur, Selat Makassar dan Sulawesi Bagian Barat akan berlangsung sangat lama hingga ratusan tahun ke depan. Wilayah yang masih sangat luas ini, lebih dari 5 kali luas Pulau Jawa, atau mencapai 40% luas wilayah nasional, akan menjadi sentralnya masa depan Indonesia.
Perlu menjadi catatan dalam memahami rencana strategis nasional ini, bahwa pembangunan ekonomi wilayah itu utamanya bukanlah soal ekonomi, melainkan soal penataan ruang. Manakala persoalan yang dihadapi itu terkait struktur dan pola ruang wilayah nasional yang buruk, ini soal penataan ruang wilayah, bukan soal ekonomi.
Di sini, para ekonom ada baiknya mendengarkan pandangan para ahli penataan ruang wilayah. Struktur dan pola ruang wilayah yang terencana dan tertata dengan baik itu adalah kerangka yang sangat kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkualitas menuju perkembangan peradaban yang tinggi.
Pembangunan IKN di Kalimantan itu bukan pemerataan ekonomi ataupun pembangunan kota-kota secara biasa-biasa saja. Setiap tahunnya triliunan dana pembangunan selalu dibelanjakan dalam pembangunan kota-kota di seluruh tanah air. Namun itu persoalan yang lain lagi, yaitu soal otonomi pembangunan daerah. Sedangkan pembangunan IKN di Kalimantan itu adalah penciptaan episentrum baru pertumbuhan wilayah di Indonesia selain di Jakarta dan Jawa. Bukan berarti Jakarta dan Jawa akan ditinggalkan, apalagi dibiarkan.
Kini kepadatan Jakarta dan Jawa sudah jauh melampaui daya dukung alamnya. Berbagai bencana di wilayah ini semakin mengancam bukan hanya kemajuan pembangunan namun juga mengancam jiwa berjuta-juta penduduknya.
Dengan pembangunan IKN di Kalimantan, maka tekanan urbanisasi di Jakarta dan Jabodetabek akan berkurang. Penataan Jakarta sebagai kota yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan lebih leluasa. Demikian pula, kawasan-kawasan permukiman penduduk di area-area rawan bencana alam yang banyak sekali lokasinya di seantero Pulau Jawa, bisa mulai ditata secara bertahap.
Perlu evaluasi, bukan ditolak
Di sisi lain, tidak bisa kita pungkiri pula, bahwa cara-cara membangun IKN perlu dievaluasi dan terus menerus diperbaiki. Sikap yang diperlukan itu bukan menolak IKN di Kalimantan, tetapi memperbaiki cara-cara yang keliru.
Pengabaian penduduk lokal perlu dijawab dengan program pemberdayaan. Perkiraan pembiayaan 500 triliun yang separuhnya dari pengembang swasta perlu dikoreksi, karena IKN bukanlah kota bisnis properti. Begitu juga dengan lahan-lahan konsesi yang terbengkalai, perlu segera dikembalikan ke negara tanpa negosiasi. Tahapan, persebaran pusat kegiatan dan rencana jumlah penduduk juga perlu ditelaah ulang. Tak terkecuali soal reklamasi bekas tambang.
Tak kurang pentingnya, bahwa pengelolaan pembangunan IKN-Nusantara harus pula dipimpin oleh sebuah lembaga negara yang otoritatif dan mumpuni serta terus dipupuk kapasitasnya. Pembentukan Otorita IKN oleh pemerintah adalah langkah awal yang sudah tepat. Namun Otorita IKN maupun Kementerian PUPR harus dijauhkan dari persepsi minor sebagai lembaga untuk main-main proyek konstruksi semata.
Untuk itu, evaluasi kelembagaan perlu segera dilakukan. Proyek-proyek konstruksi yang sudah membelanjakan puluhan triliun APBN di IKN perlu diaudit investigatif. Termasuk evaluasi dalam menghasilkan peningkatan nilai kawasan yang seharusnya dikelola oleh pemerintah (land value gain capture management).
Intinya, mari kita jadikan pembangunan IKN di Kalimantan sebagai agenda kebangsaan dalam menyambut Indonesia Emas tahun 2045. Indonesia ini adalah sebuah negara besar nan luas.
Pembangunan IKN sebagai sebuah episentrum baru pertumbuhan wilayah nasional haruslah menerapkan perencanaan yang komprehensif dan strategi pertumbuhan wilayah yang cerdas. Berbagai gagasan perubahan dan perbaikan mari kita dengarkan dan ditelaah dengan semangat kebersamaan.
Mari kita segenap anak bangsa menjadikan Pembangunan IKN di Kalimantan sebagai harapan Indonesia Baru yang akan memberi energi dan semangat perubahan dan kemajuan bangsa dan negara secara terus menerus.
Merdeka!
—
Artikel ini ditulis oleh M. Jehansyah Siregar, Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan/ SAPPK – Institut Teknologi Bandung (ITB).