Lompat ke konten

Apa yang bisa dilakukan warga kota untuk meningkatkan ketahanan energi?

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksi konsumsi energi nasional akan terus mengalami peningkatan. Setidaknya, kebutuhan energi primer meningkat dari 1.555 juta BOE (barrels oil equivalen) di tahun 2015 menjadi 2.086 juta BOE tahun 2019 dan 7.441 juta BOE tahun 2050. Artinya, untuk memenuhi kenaikan 7,4 persen per tahun setidaknya perlu disediakan 5,7 juta BOE setiap harinya.

Dari sisi suplai, minyak dan gas bumi yang merupakan sumber energi konvensional paling banyak digunakan di Indonesia saat ini hanya mencapai 1,9 juta BOE per hari. Realisasi konsumsi listrik per kapita Indonesia tahun 2017 memang sekitar 1.011,5 kWh (KESDM, 2018), jauh lebih rendah dibanding Malaysia yang mencapai 4.596 kWh. Namun begitu, Malaysia telah menggunakan energinya secara efisien dan rendah emisi serta lebih serius mengembangkan energi terbarukan.

Penggunaan yang boros dan beremisi tinggi, ditambah dengan kurang bergeliatnya inovasi untuk memperkecil gap pasokan energi, pada akhirnya memicu kecemasan tentang masa depan “ketahanan” energi nasional.

Warga kota konsumen terbesar

Berdasarkan data World Bank (2015), wilayah perkotaan Asia Timur berkembang rata-rata 2,4 persen per tahun. Indonesia termasuk negara yang memiliki tingkat urbanisasi tertinggi di Asia. Kepadatan penduduk dan mobilitas yang tinggi serta aktivitas sosial ekonomi yang beragam menempatkan warga perkotaan menjadi kontributor konsumen energi paling besar.

Apabila dirinci, maka sektor paling besar mengonsumsi energi adalah transportasi (40%), disusul industri (28%) dan rumah tangga (15%). Ketiganya merupakan sektor utama yang “membentuk” wajah perkotaan di Indonesia.

Meski sebagai konsumen terbesar, hal ini tidak menutup peluang perkotaan sebagai arena mentransformasikan energi dan menerapkan konsep pembangunan rendah karbon. Dari energi konvensional ke energi baru terbarukan. Dari energi yang menghasilkan polusi menjadi energi yang ramah lingkungan.

Permintaan energi yang besar dan cenderung terkumpul di perkotaan, menjadi peluang untuk menentukan masa depan energi di Indonesia. Pemenuhan kebutuhan energi yang lebih bersih dapat mulai dikembangkan warga kota melalui alternatif berikut:

Taman Surya/PLTS Rooftop

Taman surya adalah tempat/ area komunal untuk mengembangkan dan mengakomodasi beberapa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan pemilik yang berbeda-beda. Salah satu negara yang sudah berhasil mengembangkannya adalah India. Proyek ini dapat mengurangi biaya melalui penggunaan fasilitas bersama dan pembebasan lahan yang lebih cepat.

Namun begitu, bila perihal lahan masih menjadi persoalan, alternative yang dapat digunakan adalah PLTS rooftop (atap bangunan). Dengan menggencarkan kewajiban penggunaan PLTS rooftop pada bangunan komersial dan pemerintah maka penggunaan listrik dari sumber energi konvensional dapat mulai ditekan.

Sampah Perkotaan

Sebagian besar kota-kota di Indonesia masih memiliki permasalahan dengan sampah. Sebagai contoh, produksi sampah di Jakarta per hari mencapai 7 ribu ton dan diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut mengakibatkan berbagai permasalahan, seperti masalah pencemaran lingkungan, kebutuhan ruang yang cukup besar untuk pengolahan, masalah ekonomi, dan juga masalah sosial.

Namun demikian, tingginya volume sampah memiliki manfaat tersembunyi sebagai salah satu sumber energi alternatif. Pengembangan PLT Sampah dapat menjadi salah satu solusi penyediaan energi baru terbarukan, sekaligus juga bagi pengelolaan sampah perkotaan.

Sebagai ilustrasi, kapasitas listrik sebesar 361 MW berpotensi dihasilkan dari pengolahan 8.733 ton/hari sampah di Jakarta. Pengolahan sampah yang diproduksi sebesar 682 ton per hari di Surabaya berpotensi dapat menghasilkan listrik sebesar 106 MW.

Sebuah studi menemukan bahwa kesulitan terbesar penerapan PLT Sampah di Indonesia adalah masih sangat minimnya penerapan sistem pemilahan dari hulu hingga hilir. Pemilahan sampah ini akan sangat mempengaruhi pemilihan teknologi PLT Sampah yang akan digunakan untuk menghasilkan listrik dalam jumlah optimal. Apabila pemilahan telah bekerja dengan system yang efektif -bukan hanya mengandalkan pemulung-, sampah perkotaan dapat menjadi ladang urban mining.

Artikel ditulis oleh Mayang Rahmi Novita Sari, Perencana Sumberdaya Energi Bappenas.

Foto: Kawasan industri dan pembangkit listrik. PEXELS/Marcin Jozwiak