Ancaman perpanjangan masa jabatan kades tanpa penguatan BPD dan LKD

Foto sampul: Menteri Desa Gus Halim dalam dialog bersama para Perangkat Desa dan Kepala Desa Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jumat (3/2/2023). KEMENDESPDTT/ Didi
Foto sampul: Menteri Desa Gus Halim dalam dialog bersama para Perangkat Desa dan Kepala Desa Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jumat (3/2/2023). KEMENDESPDTT/ Didi

Dari kacamata politik, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menuai kontroversi karena menguat menjelang pemilihan umum (pemilu) tahun 2024.

Sejumlah pihak mengkhawatirkan wacana tersebut sarat dengan godaan politik dan riskan menempatkan kepala-kepala desa sebagai “alat transaksi” untuk memenangkan pihak tertentu, baik di pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Namun, cukup banyak hal substantif yang menjadi semangat digagasnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), yang luput didiskusikan dalam merespons wacana tersebut.

Spirit Progresif UU Desa

Secara filosofis, UU Desa membawa spirit progresif untuk mentransformasi pembangunan desa. UU ini dengan fundamental mengubah pendekatan pengaturan desa dari obyek pembangunan menjadi subyek pembangunan.

Desa-desa kini memiliki kewenangan yang semakin besar untuk menentukan arah pembangunannya sendiri, sesuai kebutuhan dan kekhasannya, untuk satu tujuan utama, yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

Apalagi UU Desa juga mengamanatkan negara untuk menyalurkan dana desa guna mendukung tujuan mulia tersebut.

Dengan kata lain, desa tidak lagi hanya diposisikan sebagai penerima manfaat atau “pelaksana tugas” pembangunan yang ditetapkan pemerintah di atasnya (kabupaten/kota, provinsi, dan pusat).

Berbeda dari pengaturan sebelumnya, UU Desa juga mengubah konstruksi pembagian kewenangan antarlembaga di desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Pemerintah desa (pemdes), di bawah komando kepala desa (kades), menjadi penyelenggara tunggal pemerintahan desa untuk menjalankan tugas pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

UU Desa tidak lagi mendudukkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa dengan sejumlah kewenangan yang dihapus, seperti kewenangan menetapkan peraturan desa bersama kades dan mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kades.

Berubahnya kedudukan BPD tak lepas dari pengalaman masa lalu di mana pemberian wewenang kontrol yang besar kepada lembaga tersebut menimbulkan perselisihan antara pemdes dan BPD.

Dengan kata lain, menguatnya posisi pemdes didasari keinginan untuk memastikan proses pemerintahan dan pembangunan di desa berjalan lancar, tanpa banyak “diganggu” oleh dinamika perbedaan pandangan di desa.

Kuatnya posisi pemdes juga terlihat dari relasinya terhadap Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). UU Desa mendudukkan LKD sebagai mitra pemdes yang menjalankan fungsi partisipasi masyarakat.

Fungsi ini diperjelas dalam Pasal 7 Permendagri No. 18 Tahun 2018 di mana tugas-tugas berbagai LKD diuraikan dengan fokus pada membantu kepala desa dalam melayani masyarakat. Hal ini menguatkan kesan seolah-olah peran LKD adalah pembantu pemdes.

Di tataran empiris

Spirit dan konstruksi kelembagaan desa yang diatur dalam UU Desa jelas memengaruhi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa di tataran empiris.

Berdasarkan studi longitudinal yang dilakukan SMERU tahun 2015-2019 di 10 Desa di Jambi, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, secara umum pelaksanaan UU Desa telah membawa perubahan positif bagi desa dan masyarakatnya.

Dengan kapasitas pemerintah desa yang meningkat, proses penyelenggaraan pemerintahan desa mulai menerapkan prinsip tata kelola yang baik (good governance), seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Meski begitu, upaya lebih serius diperlukan agar penatakelolaan desa tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat mekanistik prosedural.

 Secara substantif, tata kelola desa yang baik dapat berjalan dengan memperkuat fungsi kontrol dan penyeimbang atau “check and balances” di desa.

Pemerintah desa, sebagai penyelenggara tunggal pemerintahan desa, harus menjamin proses pembangunan di tingkat lokal berjalan secara inklusif dan demokratis.

Apalagi, masyarakat desa menganggap pemerintah desa, khususnya kades, memiliki kekuatan dan pengaruh sangat besar dalam menentukan proses dan hasil pembangunan di desa.

Di sisi lain, masyarakat menganggap peran BPD dan LKD belum cukup optimal sebagai saluran aspirasi masyarakat, terlebih bagi mereka yang selama ini termarjinalkan seperti masyarakat miskin, anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas.

Pemerintah perlu secara serius meningkatkan kapasitas kedua lembaga tersebut dalam mengorganisasi dan mengadvokasi prakarsa masyarakat, serta mengevaluasi kinerja pemerintah desa.

Peningkatan kapasitas BPD dan LKD juga diperlukan agar mereka mampu mengawal proses pelaksanaan musyawarah desa sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan di tingkat lokal.

Musyawarah desa tidak boleh lagi hanya didesain sebagai wadah satu arah untuk memaparkan rencana kerja pemdes. Musdes harus menjadi wadah bagi masyarakat desa untuk benar-benar berkontestasi tentang kebutuhan dan aspirasinya.

Dengan lagkah-langkah strategis semacam ini, BPD dan LKD dapat diandalkan untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan pada lembaga tertentu dan penyimpangan dalam penyelenggaran pemerintahan desa.

Wacana perpanjangan masa jabatan kades patutnya diiringi dengan diskursus untuk memurnikan kembali spirit yang digagas UU Desa.

Perpanjangan masa jabatan kepala desa, di satu sisi mungkin akan menciptakan stabilitas pembangunan desa sebagaimana diharapkan, tetapi juga menambah kuat kuasa pemdes dalam menentukan proses dan hasil pembangunan di desa.

Tanpa memperkuat fungsi “check and balances” di tingkat lokal, wacana ini justru dapat menghambat tumbuhnya prakarsa masyarakat hingga mengancam demokratisasi di desa.

Artikel ini ditulis oleh Rendy A. Diningrat dan telah tayang di Kompas.com,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tanpa memperkuat fungsi 'check and balances' di desa, wacana perpanjangan masa jabatan kades justru dapat menjadi ancaman.

Bagikan konten ini:

Semua episode podcast juga tersedia di:

Jelajahi juga..