9 mitos pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD)

Jembatan penyeberangan di Kawasan Pusat Bisnis dan Perkantoran Sudirman, Jakarta. Mukti Mulyana
Jembatan penyeberangan di Kawasan Pusat Bisnis dan Perkantoran Sudirman, Jakarta. Mukti Mulyana

Pengembangan kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD) semakin naik daun. Sering kita melihat iklan properti mengusung tagline tersebut alih-alih kedekatannya dengan simpul transit seperti stasiun kereta (KRL, LRT, MRT), halte transjakarta (BRT), atau sekedar terminal bus.

Seakan tak mau ketinggalan, para pejabat pemerintahan mulai dari walikota/ bupati, gubernur, menteri, hingga presiden pernah menyinggung konsep ini. Fenomena tersebut pada akhirnya membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya apa itu TOD dan mengapa ia semakin naik daun?

Secara prinsip, TOD merupakan konsep pembangunan yang mengintegrasikan sistem transit transportasi dan tata guna lahan untuk mengurangi mobilitas penduduk dan penggunaan kendaraan pribadi, sekaligus mendorong orang untuk berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum.

Berbagai fungsi campuran (mixed use) dengan intensitas tinggi mulai dari tempat tinggal, pusat perkantoran dan bisnis, tempat hiburan dan berbelanja, ruang terbuka publik serta aktivitas lainnya, ‘sengaja’ didesain berdekatan dengan simpul transit (seperti stasiun, terminal, dan halte) sebagai pusat orientasi pengembangan kawasan.

Radius pengembangan kawasan di sekitar simpul transit berkisar 400-800 meter. Ini agar memungkinkan orang untuk berjalan kaki dengan nyaman menuju pusat-pusat kegiatan di kawasan tersebut. Pembangunan TOD juga menjadi alternatif bagi permasalahan perkotaan seperti kemecetan dan pengembangan kota acak (urban sprawl).

Dengan demikian, konsep TOD secara fundamental memiliki prinsip yang sejalan dengan konsep pembangunan kota berkelanjutan, apapun labelnya: smart growth, new urbanism, growth management, dll. Ia berupaya menciptakan kota yang nyaman (livable) dan inklusif, terutama bagi pejalan kaki, termasuk anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas (Lihat lebih lanjut Bernick dan Cervero, 1997; Calthorpe, 1993; Fauzi, 2013)

Meskipun semakin marak, pada kenyataannya penggunaan label TOD seringkali sekedar jargon atau gimmick. Berikut adalah 9 mitos yang ‘berkeliaran’ dalam pengembangan TOD di Indonesia:

Mitos 1: Semua kawasan yang dekat dengan titik transit dapat dikatakan sebagai kawasan TOD

Perlu dipahami bahwa konsep TOD bukanlah sekedar kawasan yang ‘dekat’ dengan simpul transit namun lebih tepat dikatakan sebagai kawasan yang berorientasi/berbasis simpul transit. Lalu apa perbedaannya?

Kawasan berbasis transit ini dapat diartikan bahwa penatagunaan lahannya benar-benar dikembangkan menjadi tujuan dari aktivitas orang-orang yang tinggal atau turun di simpul tersebut. Fungsi ini harus dapat diakses dalam radius berjalan kaki.

Bagi tipikal orang Indonesia, radius berjalan kaki menurut Peraturan Menteri ATR/BPN No. 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berbasis Transit, berkisar antara 400-800 meter (hal ini jauh lebih rendah dibanding radius berjalan kaki orang Amerika atau Eropa yang bisa bisa melebihi 1 kilometer).

Kawasan ini diarahkan memiliki kepadatan berintensitas tinggi. Artinya, ketika ada suatu kawasan yang memiliki fungsi perumahan berkepadatan rendah, jejeran toko-toko yang sangat jarang pembelinya, gudang-gudang, dan fungsi lainnya yang ‘secara kebetulan’ ada di dekat stasiun tertentu, kawasan itu belum bisa disebut kawasan TOD.

Mitos 2: Semua titik transit dapat dengan mudah dikembangkan menjadi TOD

Tidak semua simpul transit dapat dikembangkan menjadi kawasan TOD. Kawasan harus memiliki setidaknya dua simpul jaringan angkutan massal berkapasitas tinggi, satu di antaranya berbasis rel. Kapasitas angkut per hari idealnya di atas 200 ribu penumpang.

Penentuan kawasan TOD juga harus sesuai dengan arah perencanaan pembangunan, pusat pelayanan kegiatan, dan pertimbangan peningkatan nilai ekonomi.

Dengan demikian, jika ada suatu kawasan yang hanya dilayani satu titik transit berkapasitas angkut rendah, serta tidak meningkatkan nilai ekonomi, jawabannya bukan TOD.

Mitos 3: Park and Ride dibutuhkan dalam kawasan TOD

Menganggap konsep park and ride menjadi suatu kesatuan dengan konsep TOD merupakan hal yang keliru. Banyak perencana yang menganggap perjalanan menuju simpul transit dapat dilakukan dengan kendaraan pribadi, memarkirkannya lalu lanjut dengan angkutan massal.

Perlu dipahami bahwa fasilitas parkir sebenarnya bertentangan dengan konsep TOD karena tetap mengakomodasi seseorang untuk menggunakan kendaraan pribadi. Fasilitas parkir sebaiknya sangat diminimalisir untuk mendorong lebih banyak pejalan kaki dalam kawasan TOD apalagi bila lokasinya di pusat kota.

Lalu muncul pertanyaan: bagaimana jika seseorang ingin menuju simpul transit dari tempat tinggalnya? Jika ingin benar-benar menggunakan prinsip TOD, tempat tinggal berbagai golongan masyarakat perlu ada di dalam kawasan TOD (radius 400-800 meter dari simpul transit) sehingga pergerakan menuju simpul transit dapat dilakukan dengan berjalan kaki.

Namun jika seseorang yang tinggalnya jauh, untuk menuju simpul transit dapat dilayani dengan angkutan umum pengumpan (feeder), bukan dengan kendaraan pribadi. Angkutan pengumpan ini dapat berupa bus, mikrobus, atau paratransit yang perlu disiapkan oleh pemerintah atau pengelola transportasi.

Mitos 4: Iklan perumahan dengan tema kawasan TOD otomatis kawasan TOD

Keliru jika kita menganggap perumahan baru yang mengusung tema sebagai perumahan TOD menjadi indikator bahwa kawasan tersebut sudah pasti TOD. Faktanya, konsep TOD sering ditebengi atau dimanfaatkan pengembang untuk menarik perhaian konsumen.

Padahal, kawasan TOD memiliki banyak persyaratan ketat. Mulai dari disediakannya kendaraan masal antarmoda dengan laju (headway) yang cepat (kurang dari 5 menit untuk ukuran dalam kota), tata guna lahan campuran yang kompak, lokasi jaringan transit primer dan sekunder, serta jaringan pengumpan.

Mitos 5: TOD hanya bisa dikembangkan di kawasan baru yang lahannya relatif kosong

Anggapan seperti ini kurang tepat karena sebetulnya TOD akan lebih berhasil jika dikembangkan pada kawasan yang telah memiliki ‘embrio’ sistem transportasi dan titik transit. Namun bukan berarti tidak bisa dikembangkan di lahan kosong.

Pengembangan TOD di lahan yang sudah terbangun, dapat dilakukan melalui konsep regenerasi kota, pembangunan kembali kawasan (redevelopment site), ataupun berbagai konsep terkait peremajaan kota. Itu sekaligus sebagai upaya menyuntikkan fungsi-fungsi aktivitas baru yang lebih kompak disertai penataan lingkungan transit.

Selain itu, dapat pula dilakukan melalui pendekatan infill development, yakni mengisi ruang-ruang yang masih kosong dengan fungsi-fungsi campuran pada radius tertentu.

Sementara itu, pengembangan TOD di lahan yang perawan dapat dikembangkan melalui konsep pembangunan kawasan pertumbuhan baru (new growth area) atau kota baru (new town area). Namun yang perlu diperhatikan TOD di lahan perawan akan membutuhkan lebih banyak komitmen, usaha, dan biaya dalam implementasinya.

Beberapa anggapan bahwa TOD hanya bisa dikembangkan di lahan kosong seringkali merupakan spekulasi pengembang untuk menguasai banyak lahan dan memperoleh nilai yang jauh lebih tinggi.

Mitos 6: TOD sangat mudah dan murah untuk dilakukan pemerintah

Perlu disadari bahwa TOD merupakan proyek investasi yang sangat mahal dan memiliki kompleksitas tinggi. TOD tidak hanya sekedar membangun terminal, stasiun, atau simpul transportasi saja namun juga membangun suatu kawasan terintegrasi dan memiliki tata guna lahan campuran dengan intensitas yang relatif tinggi.

Oleh karena itu, TOD akan lebih mudah diimplementasikan jika ada kolaborasi dengan swasta ataupun badan usaha. Mekanisme pembiayaan proyeknya dapat dilakukan melalui kerjasama pemerintah-badan usaha (KPBU). Jenis-jenis KPBU ini sangat beragam, tergantung pada konteks kesiapan proyek, biaya yang tersedia, jenis pengembalian dan pembagian keuntungan, serta rincian tahapan proyek.

Mitos 7: Kawasan TOD hanya diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas

Inklusivitas menjadi prinsip penting dalam pengembangan TOD. Seluruh golongan berhak untuk berpartisipasi di dalamnya. Kawasan TOD harus menyediakan hunian berbagai kelas (yang pendekatannya dapat melalui subsidi silang atau insentif lain), penggunaan ruang terbuka publik,  kendaraan umum, dan fasilitas-fasilitas lain yang dapat diakses semua orang.

Kesalahan yang sering terjadi yaitu kawasan TOD sengaja didesain secara tersekat, misal pemagaran persil-persil hunian agar terkesan eksklusif. Pemagaran persil juga membuat jarak berjalan kaki menuju tempat transit semakin jauh. Oleh karena itu, penting untuk menghilangkan pagar-pagar yang membatasi kawasan agar semua golongan bisa mengakses keseluruhan kawasan TOD.

Mitos 8. Semua jenis stasiun dapat dianggap sama/setara untuk dikembangkan melalui satu mekanisme pengembangan TOD

Hampir seluruh teori TOD membagi mekanisme pengembangannya menjadi beberapa tipologi sesuai konteks kawasannya. Mulai dari pertimbangan jenis kawasannya (daerah kota/desa), kepadatan penduduk, fungsi ekonomi kawasan (primer/sekunder), skala sistem transportasi, pola pergerakan penduduk, moda transportasi utama, permukiman masyarakat, sampai dengan dominasi fungsi lahan dan aktivitas kawasannya.

Dalam hal ini, Peraturan Menteri ATR/BPN No. 16 Tahun 2017 telah tepat membedakan kawasan pengembangan TOD menjadi tiga jenis, yaitu TOD Regional, TOD Kota, dan TOD Lingkungan.

TOD Regional berlokasi di pusat kota atau kawasan perkotaan di kabupaten yang merupakan pusat pelayanan kota, TOD Kota berlokasi pada subpusat pelayanan kota atau subpusat kawasan perkotaan di kabupaten, sedangkan TOD Lingkungan berlokasi pada pusat pelayanan lingkungan. Hal ini sudah cukup sesuai dengan teori mengenai TOD.

Mitos 9. Pelaku bisnis yang membangun gedung di sekitar kawasan TOD relatif rugi karena membayar pajak lahan yang sangat mahal

Kawasan TOD, oleh para pakar transportasi, seringkali dianggap sebagai kawasan emas yang memiliki nilai tinggi. Anggapan bahwa pelaku bisnis yang membangun gedung di sekitar kawasan tersebut rugi tidak tepat karena sangat banyak aktivitas ekonomi yang nilainya justru bertambah.

Bahkan, beberapa kasus menyediakan perangkat kebijakan yang membolehkan gedung-gedung tersebut dibangun dengan ‘kelonggaran’ tinggi atau luas bangunan, misalnya melalui konsep bonus zoning atau transfer of demand right (TDR).

Namun perangkat-perangkat tersebut perlu digarisbawahi harus menguntungkan publik dan swasta (win-win solution). Contohnya dalam hal bonus zoning, swasta diperbolehkan membangun gedung lebih tinggi jika mau menyediakan perumahan berpenghasilan rendah atau ruang terbuka hijau yang bisa digunakan oleh berbagai kalangan.

Berbagai poin pembahasan mengenai mitos-mitos tentang TOD di atas sebenarnya dalam rangka mengoreksi kesalahkaprahan dalam implementasi konsep TOD serta mengurangi gap antara teori dan fakta di lapangan. Dengan demikian, implementasi TOD diharapkan dapat sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada, termasuk pertimbangan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pada akhirnya, konsep TOD dapat memberikan dampak menciptakan kota yang manusiawi, nyaman, tidak macet, aman, sehat dan inklusif. Pengembangan TOD perlu menjamin kesejahteraan masyarakat kota yang didasari oleh tujuan keadilan ruang untuk semua golongan.

Artikel ditulis oleh Akhmad Fais Fauzi, Perencana Transportasi Bappenas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Meski populer, penggunaan label Transit Oriented Development (TOD) di Indonesia seringkali sekedar jargon atau gimmick.

Bagikan konten ini:

Semua episode podcast juga tersedia di:

Jelajahi juga..